Mendengar atau membaca kata “PACITAN” yang terbesit dalam benak anda adalah sebuah kota kecil ujung Jawa Timur nan indah dan elok dengan pesona wisata dan alamnya yang masih sangat natural. Tidak sedikit juga yang terbesit akan sebuah kota dimana dilahirkan seorang pemimpin bangsa Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Anggapan tersebut memanglah benar adanya. Pacitan, sebuah kota kecil yang damai yang terletak di perbatasan ujung barat Jawa Timur menawarkan sejuta pesona wisata. Mulai wisata alam, sejarah, hingga wisata minat khusus.

Selain menawarkan keharmonisan alam dan masyarakatnya, pacitan juga menyimpan banyak tradisi yang sungguh luar biasa nilainya apabila kita dapat menghayati dan mengambil unsur-unsur yang tersaji didalamnya. Ada beberapa tradisi adat yang dapat anda temukan di Pacitan.
 

Beberapa kesenian budaya dari Pacitan diantaranya Upacara Ceprotan, tari Kethek Ogleng,  Mantu Kucing, Baritan, Tetaken dan masih banyak lainnya. Kali ini yang akan coba saya bahas adalah budaya khas masyarakat Pacitan asli dari lereng Gunung Limo di Kecamatan Kebonagung, tepatnya di Desa Mantren. Keyakinan masyarakat sekitar Gunung Limo yang masih menganggap memiliki nilai magis diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah tersebut. Namanya adalah upacara Tetaken. Upacara ini dilaksaakan masyarakat Gunung Limo setiap tanggal 15 Muharram/Suro.

Ritual upacara Tetaken ini merupakan upacara bersih desa atau sedekah bumi. Gambaran dari ritual ini adalah ketika juru kunci Gunung Limo, turun gunung. Bersama anak buahnya, yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani pertapaan di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Nama Tetaken sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau pertaapaan.

Sejarah Upacara ritual tetaken ini bermula dengan kisah, ketika Tunggul Wulung bersama Mbah Brayat mengembara. Tujuan, melakukan pengabdian dan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa setelah bertapa di Gunung Lawu. Namun, dalam perjalanan, dua orang ini berpisah. Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Lima Kebonagung. Diceritakan juga bahwa Kyai Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas di kawasan Gunung Lima yang kelak kemudian disebut Mantren.

Dalam pelaksanaannya, tetaken adalah acara pembuka rangkaian acara berikutnya, tak lama setelah rombongan turun, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren). Saat berada di tempat acara, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan. Kemudian setelah semua penunjang ritual berada ditempat acara, acara inti pun segera dimulai. Sebagai tanda kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu diberi minum air dari sari aren tersebut.

Selanjutnya, secara bergilir, para murid tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut  bermakna bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi, dan pada akhirnya kebaikan mampu mengalahkan kejahatan.

Pada akhir acara, semua warga melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Itulah sedikit cerita tentang Upacara ritual tetaken yang dilakukan warga di Gunung Limo yang mempunyai nilai kesakralan tersendiri dan menambah kekayaan budaya Pacitan. Jika anda tertarik melihat langsung upacara ritual tetaken ini, datang saja ke Mantren Kebonagung setiap tanggal 15 Muharram.


Warnet BMI Pacitan

Berikut beberapa Foto Upacara Adat Tetaken






Foto Upacara Adat Tetaken



Foto Upacara Adat Tetaken











Foto Upacara Adat Tetaken




Upacara Adat Tetaken

Gunung Limo, Pacitan