Bunyi deburnya menenggelamkan suara manusia yang berada di daratan. Itulah pemandangan awal sebelum tradisi eretan dimulai. Sebuah cerminan tentang kearifan lokal dan budaya gotong-royong warga Desa Worawari Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan Jawa Timur.


Desa Worawari terletak kurang lebih 30 Km dari pusat kota Pacitan. Adanya Jalur Pantai Selatan Jawa (PANSELA) mmebuat desa ini kini lebih terbuka dan lebih dikenal luas oleh masyarakat karena dilalui Jalan nasional yang membentang mulai Banyuwangi hingga Banten.

Letak Desa Worawari yang dilalui Jalur pantai Selatan Jawa (PANSELA) ini membuat desa ini kini jauh lebih berkembang dan lebih maju dibandingkan dengan keadaan 5 tahun lalu, dimana akses menuju desa worawari masih melewati jalan desa yang kondisinya kuran baik. Potensi wisata yang dimiliki Desa Worawari memang sangat eksostis. Tidak berlebihan disebut demikian karena memang semua sudah mengetahui bahwa Jalur Pantai Selatan Jawa (PANSELA) yang melalui wilayah Kabupaten Pacitan khususnya yang membentang dari Kecamatan Kebonagung hingga Kecamatan Sudimoro terkenal sebagai jalur Lintas Selatan terindah di Pulau Jawa. 

Kembali pada kearifan lokal di Desa Worawari. Masyarakat desa Worawari memiliki sebuah tradisi lokal turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di desa ini, yaitu ERETAN.

10 pria berperawakan kekar tampak berbaris di bibir pantai. Mereka berdiri membelakangi hamparan pasir yang basah oleh air laut. Matanya tertuju pada sosok sesepuh yang berdiri di depan mereka sembari mulutnya terucap lirih doa-doa pujian kepada Allah SWT.

Kalimat yang terucap dari lisannya, bukan tanpa makna. Untaian kata yang terucap adalah pengejawantahan sedekah bumi. Wujudnya berupa ingkung (ayam dimasak bumbu) lengkap dengan nasi dan lauk. Sajian itu ditata sedemikian rupa dan ditata di atas hamparan pasir.

Setelah lantunan doa selesai, barulah 10 pria yang telah sekian menit menunggu memulai tugas. Dengan langkah serentak, mereka maju ke arah kepala desa. Lalu, satu per satu tangannya bergantian menjabat kepala desa dan kyai, bermakna mereka mohon doa restu sebelum berangkat melaut.
 
Dalam sekejap, 10 pria yang mengenakan pakaian ala kadarnya berbalik arah. Mereka lantas beramai-ramai mendorong 2 perahu yang tertambat di tepi pantai. Setelah perahu mengapung, 4 pria menaiki 2 perahu. Sedangkan 6 lainnya menunggu di pesisir.

Perlahan-lahan 2 perahu bergerak menjauhi pantai. Lambat laun ukurannya nampak makin kecil. Keduanya bergerak saling berjauhan. Perahu yang satu menuju ke ujung teluk sebelah kiri. Sedangkan satu perahu lain melesat ke ujung teluk sebelah kanan. Jarak antar ujung teluk sekitar 500 meter.


Seakan berada di bawah komando sama, kedua perahu bergerak kembali ke pinggir. Lajunya tak terlalu kencang. Tujuannya untuk menjaga agar jaring yang ujungnya tertambat di kedua ujungnya tidak putus. Dengan cara itu para nelayan menangkap ikan secara turun temurun.
 
 
Tinggal 5 meter lagi kedua perahu mendarat di hamparan pasir. Tanpa diminta, puluhan warga lain yang sejak tadi menunggu berhamburan menuju kedua ujung tali jaring yang tertambat di dua perahu. Sekilas tampak seperti perlombaan tarik tambang. Bedanya, yang ditarik adalah jaring penuh aneka jenis ikan.

Begitulah semangat kebersamaan tertanam dia antara nelayan Pantai Dangkal. Tak hanya saat melaut, ketika mengambil hasil tangkapan pun mereka lakukan bersama-sama.


Setelah ikan terkumpul, barulah nelayan pemilik perahu dan jaring membaginya. Semua mendapat bagian sesuai perannya. Baik para pria pendorong perahu maupun warga yang suka rela memantu menarik tali jaring, semua membawa ikan.

Sambil menenteng ikan beragam jenis dan ukuran, mereka kembali menuju ke arah semula mereka berkumpul. Semua orang lantas beramai-ramai menikmati nasi dan ayam ingkung sebelum pulang ke rumah masing-masing.


Eretan Ngupaya Mina, sebutan dalam Bahasa Jawa yang bermakna saling bergandengan mencari ikan. Sebuah nilai yang sulit di dapat di sebuah dunia modern yang acap kali menggiring kita menjadi pribadi yang individualis.