Bunyi deburnya menenggelamkan suara manusia yang berada di daratan. Itulah pemandangan awal sebelum tradisi eretan dimulai. Sebuah cerminan tentang kearifan lokal dan budaya gotong-royong warga Desa Worawari Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan Jawa Timur.


Desa Worawari terletak kurang lebih 30 Km dari pusat kota Pacitan. Adanya Jalur Pantai Selatan Jawa (PANSELA) mmebuat desa ini kini lebih terbuka dan lebih dikenal luas oleh masyarakat karena dilalui Jalan nasional yang membentang mulai Banyuwangi hingga Banten.

Letak Desa Worawari yang dilalui Jalur pantai Selatan Jawa (PANSELA) ini membuat desa ini kini jauh lebih berkembang dan lebih maju dibandingkan dengan keadaan 5 tahun lalu, dimana akses menuju desa worawari masih melewati jalan desa yang kondisinya kuran baik. Potensi wisata yang dimiliki Desa Worawari memang sangat eksostis. Tidak berlebihan disebut demikian karena memang semua sudah mengetahui bahwa Jalur Pantai Selatan Jawa (PANSELA) yang melalui wilayah Kabupaten Pacitan khususnya yang membentang dari Kecamatan Kebonagung hingga Kecamatan Sudimoro terkenal sebagai jalur Lintas Selatan terindah di Pulau Jawa. 

Kembali pada kearifan lokal di Desa Worawari. Masyarakat desa Worawari memiliki sebuah tradisi lokal turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di desa ini, yaitu ERETAN.

10 pria berperawakan kekar tampak berbaris di bibir pantai. Mereka berdiri membelakangi hamparan pasir yang basah oleh air laut. Matanya tertuju pada sosok sesepuh yang berdiri di depan mereka sembari mulutnya terucap lirih doa-doa pujian kepada Allah SWT.

Kalimat yang terucap dari lisannya, bukan tanpa makna. Untaian kata yang terucap adalah pengejawantahan sedekah bumi. Wujudnya berupa ingkung (ayam dimasak bumbu) lengkap dengan nasi dan lauk. Sajian itu ditata sedemikian rupa dan ditata di atas hamparan pasir.

Setelah lantunan doa selesai, barulah 10 pria yang telah sekian menit menunggu memulai tugas. Dengan langkah serentak, mereka maju ke arah kepala desa. Lalu, satu per satu tangannya bergantian menjabat kepala desa dan kyai, bermakna mereka mohon doa restu sebelum berangkat melaut.
 
Dalam sekejap, 10 pria yang mengenakan pakaian ala kadarnya berbalik arah. Mereka lantas beramai-ramai mendorong 2 perahu yang tertambat di tepi pantai. Setelah perahu mengapung, 4 pria menaiki 2 perahu. Sedangkan 6 lainnya menunggu di pesisir.

Perlahan-lahan 2 perahu bergerak menjauhi pantai. Lambat laun ukurannya nampak makin kecil. Keduanya bergerak saling berjauhan. Perahu yang satu menuju ke ujung teluk sebelah kiri. Sedangkan satu perahu lain melesat ke ujung teluk sebelah kanan. Jarak antar ujung teluk sekitar 500 meter.


Seakan berada di bawah komando sama, kedua perahu bergerak kembali ke pinggir. Lajunya tak terlalu kencang. Tujuannya untuk menjaga agar jaring yang ujungnya tertambat di kedua ujungnya tidak putus. Dengan cara itu para nelayan menangkap ikan secara turun temurun.
 
 
Tinggal 5 meter lagi kedua perahu mendarat di hamparan pasir. Tanpa diminta, puluhan warga lain yang sejak tadi menunggu berhamburan menuju kedua ujung tali jaring yang tertambat di dua perahu. Sekilas tampak seperti perlombaan tarik tambang. Bedanya, yang ditarik adalah jaring penuh aneka jenis ikan.

Begitulah semangat kebersamaan tertanam dia antara nelayan Pantai Dangkal. Tak hanya saat melaut, ketika mengambil hasil tangkapan pun mereka lakukan bersama-sama.


Setelah ikan terkumpul, barulah nelayan pemilik perahu dan jaring membaginya. Semua mendapat bagian sesuai perannya. Baik para pria pendorong perahu maupun warga yang suka rela memantu menarik tali jaring, semua membawa ikan.

Sambil menenteng ikan beragam jenis dan ukuran, mereka kembali menuju ke arah semula mereka berkumpul. Semua orang lantas beramai-ramai menikmati nasi dan ayam ingkung sebelum pulang ke rumah masing-masing.


Eretan Ngupaya Mina, sebutan dalam Bahasa Jawa yang bermakna saling bergandengan mencari ikan. Sebuah nilai yang sulit di dapat di sebuah dunia modern yang acap kali menggiring kita menjadi pribadi yang individualis.
PENGANTAR PENULIS

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan penulisan ini dalam rangka memenuhi tugas dalam menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Gunung Lembu Tremas Arjosari
Tetaken, sebuah ritual adat yang masih lestari dan dipertahankan ditengah gempuran zaman oleh masyarakat desa Mantren Kecamatan Kebonagung. Penelusuran kami dalam mencari referensi tentang Upacara adat di kaki Gunung Lima ini secara tidak langsung mengungkap sebuah sejarah awal mula peradaban di desa Mantren Kecamatan Kebonagung.
Semoga dengan adanya penulisan ini, dapat menjadikan referensi pengetahuan budaya lokal di Kabupaten Pacitan bagi pembaca semua pada umumnya dan bagi diri kami pada khususnya sebagai acuan untuk melestarikan apa yang telah diwariskan oleh sejarah kehidupan kami.



A.    JUDUL UPACARA ADAT TETAKEN
(Di Kabupaten Pacitan Desa Mantren Kecamatan Kebonagung)

B.     DESKRIPSI SINGKAT
Khasanah budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya tradisi Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, upacara Kasada di Bromo, dan Upacara Tetaken di Pacitan.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang tersebar di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).
Tradisi budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan serius. Sehingga dengan budaya lokal-lah kita mampu mewujudkan budaya tingkat Nasional. Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak memperdulikan bahkan mereka tidak mengetahui tradisi budaya yang ada didaerahnya. Hal itu membuat keprihatinan tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat laun memusnahkan pola pikir anak terhadap tradisi budaya yang ada. Generasi muda lebih suka play station, game online dari pada melihat festival Gunung Limo.
Kita tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau kita berpikir secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita mampu memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti halnya mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan facebook. Sehingga belum tentu perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya tradisi daerah, melainkan kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk menumbuhkembangkan budaya tradisi kedaerahan.
Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk upacara tradisi, seperti halnya; Tetaken, tradisi budaya yang terdapat di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan  ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar, dan juga pemerintah berperan serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya yang ada di daerah-daerah dapat dijadikan sebagai fokus objek wisata lokal. Menggali (Ndudhuk) potensi upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu kita mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta (2004:176), untuk membangun ketahanan budaya, kita harus menggali dan kemudian memilah-milah produk-produk budaya yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua produk budaya yang kita miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk budaya yang harus kita tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.

C.    EXPRESI DAN PERFORMARANSI
1.      Sejarah diadakannya Festival Gunung Limo (Upacara Adat Tetaken)
Kota Pacitan  terletak 524 Km sebelah timur dari Ibukota Jakarta dan 209 arah barat daya dari kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten yang terkenal dengan Gunung Limo ini mempunyai tradisi yang unik. Karena menganut penanggalan Jawa, yaitu tepat pada 1 Syuro. Seperti daerah Jawa lainnya, untuk memperingati bulan baru Hijriyah diadakan beberapa kegiatan. Beberapa diantaranya adalah pengajian, melekan, tirakatan, perajahan, larung sesaji dan napak tilas sejarah. Sedangkan di Gunung Limo bemerapa orang melakukan teteki atau bertapa di bulan itu, selanjutnya para pertapa tersebut disambut oleh masyarakat dalam bentuk perayaan “TETAKEN” yang diadakan setiap tanggal 15 bulan Syuro.
Tetaken berasal dari kata “tetekian”, “teteki” mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an, bermakna tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan maka kata “tetekian” berubah pengucapannya menjadi “tetaken” tanpa mengurangi makna sesungguhnya. Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat kembali proses datangnya Eyang Tunggul Wulung dan Mbah Brayut ke Gunung Limo dan menetap di lereng Gunung Limo.
Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya.­ Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari puncak gunung, iring-iringan besar warga muncul menyambut para pertapa memasuki areal upacara. Masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/­Jubah Hitam pertapa).
Eyang Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas di lereng Gunung Limo kemudian menjadi Desa Mantren. Beliau juga diyakini sebagai orang yang melakukan penyebaran agama Islam di Tanah Jawa yang sebelumnya lebih banyak menganut agama Hindu dan Budha. Kedatangannya di lereng Gunung Limo diiringi seorang asisten yang bernama Mbah Brayut yang akhirnya menjadi cikal bakal dan menetap di Sidomulyo.
Sejarah Eyang Tunggul Wulung bermula dari kedatangan prajurit “soreng” seiring Kasultanan Demak Bintoro yang berdiri di abad 15. Seorang prajurit “soreng pati” sebutan prajurit kerajaan Demak Bintoro (berasal dari kata sura ing pati yang berarti rela berkorban/­mengabdi sampai mati) berpangkat “Mantri Tamtama”, yang kemudian lazim disebut Eyang Tunggul Wulung generasi pertama, bagi masyarakat Pacitan mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan masyarakat lereng Gunung Limo yang meyakini bahwa Eyang Tunggul Wulung-lah penguasa pertama Gunung Limo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Desa Mantren dan sekitarnya. Sedangkan nama Desa Matren berasal dari kata “mantri” yang berati penguasa yang memiliki kebijakan. Berdasar urutan pangkat dari atas: (1) Raja/Sultan; (2) Adipati/­Bupati; (3) Demang/Camat; (4) Mantri/Lurah; (5) Punggawa/­Pegawai kerajaan atau pangkat dalam kerajaan; (6) Tamtama/­prajurit; (7) Soreng Pati prajurit khusus berani mati. Hal ini menunjukkan bahwa Eyang Tunggul Wulung adalah penguasa daerah tersebut.
Eyang Tunggul Wulung, tidak lain adalah salah seorang prajurit yang mendapat perintah Raden Patah (Raja Kasultanan Demak Bintoro) menjaga pusaka bendera panji hitam yang disebut panji “Kyai Tunggul Wulung” untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung di tanah Jawa sebagai tanda syiar Islam secara turun-temurun. Karena mendapat tugas untuk menjaga panji Tunggul Wulung, soreng pati yang berpangkat mantri tamtama tersebut diberi gelar Eyang Tunggul Wulung sesuai dengan nama pusaka yang dijaganya. Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan Kyai Jayaniman pada masa Diponegoro sebagai Bupati Pacitan yang bergelar “Kanjeng Jimat” setelah mengabdikan diri sebagai juru pusaka di gedong Jimatan (1812-1826).
Ketenaran nama Tunggul Wulung sebagai simbol syiar Islam tidak hanya di Gunung Limo. Di KadipatenWengke­r (sekarang bernama Ponorogo) pada era Demak, Raden Katong (Betara Katong) yang bernama asli Lembu Kanigoro putra raja Majapahit Brawijaya V dari ibu yang berasal dari Bagelen, selaku adipati beliau memiliki pusaka tombak pengibar panji kejayaan yang bernama “Tunggul Wulung”. Tombak Tunggul Wulung milik Betara Katong tersebut sebagai pusaka simbol peradaban Islam di Ponorogo. Sampai saat ini tombak Tunggul Wulung bersama dengan pusaka Payung Tunggul Naga dan ikat pinggang Cinde Puspito masih rutin setiap tahun diarak dalam tradisi kirab “Napak Tilas” pada 1 Syuro dari komplek makam Betara Katong menuju pusat kota.
Sejarah Tunggul Wulung ini berawal dari senja kala Majapahit yang ditandai mulai redupnya pengaruh kekuasaan Raja Brawijaya V, saat kakak tertuanya Raden Jaka Purba yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan Kasultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikuti jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.
Di era Mataram di abad XVII yang dipimpin oleh Sultan Agung panji hitam Tunggul Wulung digunakan sebagai simbol kekuasaan Kasultanan Islam Mataram. Kyai (Pusaka) Tunggul Wulung diikatkan pada sebatang Tombak Slamet dengan ukuran 4 X 2 meter. Sampai saai ini masih tersimpan dalam gedong pusaka keraton Yogyakarta.
Sultan Agung Hanyokrokusumo raja Mataram termasyur alias Raden Mas Rangsang alias Raden Jatmika (memerintah 1613-1646). Beliau raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Versi lain mengatakan naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kasultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyokrowati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean dan pendadaran prajurit Tunggul Wulung. Disinilah pasokan senjata borongan prajurit seperti tumbak, keris, pedang, perisai baja diproduksi. Saat penyerangan Batavia, Tuban, Surabaya, Madura, Wirasaba, Malang sampai Banyuwangi, Begenen Pacitan memproduksi lebih dari 500 juta suku cadang senjata.
Selain senjata, di Pacitan terdapat lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di Gunung Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai “wisudan Tunggul Wulung” (wisuda yang dilakukan oleh Tunggul Wulung). Prajurit Mataram melakukan pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada pemuda-pemuda di desa-desa dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila sewaktu-waktu ada peperangan.
Pembekalan yang dilakukan oleh prajurit Mataram dibawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja kepada generasi muda, melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat. Memantabkan ajaran Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman prinsip-prinsip­ pengabdian kepada negara. Mendekatkan hubungan kerajaan dengan masyarakat sekaligus mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah kaprajuritan, kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai moral, spiritual lahir dan bathin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan “TETAKEN”.
Senjakala Majapahit menguatkan tekad Raden Patah menyatukan saudara-saudara­nya yang merupakan keturunan langsung dari ayahanda Brawijaya V di Wengker Kidul dibawah panji kebesaran Kasultanan Demak yang bercorak Islam, ragam peristiwa terekam dalam ragam sejarah lisan, cerita dan legenda masyarakat Pacitan. Kegemilangan peradaban Islam di Wengker Kidul ditandai dengan berkibarnya Panji Hitam Tunggul Wulung di puncak Gunung Limo. Berlanjut pada peristiwa pendadaran Prajurit Mataram di bawah Panji Tunggul Wulung sebagai wujud nasionalisme, pertahanan dan perlawanan masyarakat pada masa Sultan Agung, Gunung Limo telah menjadi simbol kebesaran masyarakat Pacitan.

2.      Jalannya Upacara
Ritual Tetaken merupakan upacara “bersih desa” yang kini dijadikan agenda tahunan wisata budaya di daerah ini. Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya. Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di lereng Gunung Limo, pada tanggal 15 Syuro terdapat tradisi ritual rutin tiap tahun yang disebut Tetaken.
Tetaken dikenal sejak dahulu sebagai upacara adat yang digelar oleh masyarakat yang berada di lereng Gunung Limo Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau maknanya adalah pertaapaan. Tak heran, dalam pelaksanaan ritual ini, suasana religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini. 
Dalam pelaksanaannya, tetaken adalah acara pembuka rangkaian acara berikutnya, tak lama setelah rombongan turun, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren).
Saat berada di tempat acara, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan. Kemudian setelah semua penunjang ritual berada ditempat acara, acara inti pun segera dimulai. Sebagai tanda kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu diberi minum air dari sari aren tersebut.
Secara bergilir para pembawa legen (air nira) menuang isi. Ini adalah sambutan dari masyarakat Gunung Limo yang dalam kehidupan sehari-hari bekerja sebagai pencari nira. Tradisi tetaken sendiri membawakan berkah bagi kehidupan sehari, menjadikan simbol kekuatan dan spiritual, gunung limo merupakan sumber kekuatan dan nilai spiritual.
Sebelum ritual dilaksanakan, para jawara menampilkan kebolehannya dalam bermain silat dan kanuragan. Sesepuh Mantren mengisyaratkan kepada para jawara untuk memperebutkan sorban hitam Tunggul Wulung. Barang siapa berhasil mempertahankan sorban itu melekat di kepalanya maka akan memperoleh pengakuan sebagai pendekar Gunung Limo. Jawara ini adalah para pemuda tangguh yang maju sebagai wakil dusun tempatan maupun tamu dari luar desa.

 
Selanjutnya, secara bergilir, para warnet BMI tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut  bermakna bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi, dan pada akhirnya kebaikan mampu mengalahkan kejahatan.

 Pada akhir acara, semua warga melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya.

3.      Upacara Adat Tetaken di Masa Sekarang
Sejak penyelenggaraan upacara adat Tetaken pada tahun 2015 kegiatan ini dimasukan dalam salah satu agenda yang ikut menyemarakkan wisata budaya di Pacitan dengan konsep baru dan nuansa lebih segar, kekinian, namun tetap memegang teguh nilai budaya Tetaken yang tersaji. Dengan demikian, ada sedikit perubahan dalam upacara adat tetaken pasalnya, digelar dalam rangkaian Festival Gunung Limo. Paguyuban Tetaken Gunung Limo menggelar upacara adat Tetaken yang dirangkaikan dengan Festival Gunung Limo di Pelataran Gunung Limo, Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung.



Beberapa program juga dirancang dalam menyemarakan dan mempromosikan upacara adat Tetaken, diantaranya adalah perjalanan pendakian puncak Gunung Limo, kajian Kasepuhan dan wejangan pinisepuh Gunung Limo, bersih Gunung dan Ruwatan Nagari, festival karya tulis, Sastra, fotografi dan multimedia dengan tema budaya Gunung Limo.
Juga ada lomba Mewarnai dan Lomba Lukis Tema Gunung Limo (TK, SD, BMI, SMP, SMA), pencak Silat Sempok Gunung Limo dan Kompetisi Perebutan Juara sorban tunggul wulung, Ritual TETAKEN (Pertapa Turun Gunung), Pameran Pusaka BMI Net dan Produk Unggulan Khas Pacitan dan perajahan dan Gemblengan kanuragan. Selain itu digelar pagelaran Kontemporer Wayang Arya bersama Bagus Tegar serta pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk.

4.      Makna simbol verbal upacara adat Tetaken
a)      Tetaken
Istilah ini merupakan istilah kunci karena memang istilah ini merupakan judul upacara Adat yang ada di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan. Tetaken berarti membangun Pertapaan atau tempat bersemedi atau teteki sesuai cerita bahwa Ki Tunggul Wulung membangun pertapaan di Gunung Limo.


b)     Nguri-nguri
Istilah ini merupakan intisari upacara adat Tetaken karena istilah ini bermakna menjaga dan melestarikan agar tetap ada disini yang dimaksud melestarikan adalah menjaga dan melestarikan pertapaan atau Tetaken Gunung Limo agar tetap menjadi aset yang berharga bagi bangsa dan Negara.
c)      Wejang
Istilah ini merupakan istilah yang ada di prosesi sebo yang bermakna arahan dari sang juru kunci kepada calon murid mengenai syarat syarat untuk menjadi seorang cantrik atau murid.
d)     Lelaku
Istilah ini merupakan rangkaian dari wejang, lelaku ini bermakna jalan yang harus ditempuh yang sifatnya wajib yang berupa puasa 40 hari 40 malam. Semedi dan sebagainya yang bersifat wajib.
e)      Ngangsu Kaweruh
Setelah resmi diangkat menjadi seorang cantrik atau murid maka seorang murid memasuki ngangsu kaweruh yang bermakna belajar ilmu dari sang guru.
f)       Tirto Roso Dharmo
Setelah prosesi semedi maka sang murid minum air tirto roso dharmo yang bermakna bahwa seorang murid akan selalu berbakti kepada lingkungan atau masyarakat dan setelah minum tirto roso dharmo segala kemungkaran akan dikurung.
g)      Netepi Dharmo
Istilah ini merupakan atau memiliki makna yang sangat dalam bagi sang murid karena netepi dharmo bermakna bahwa ia akan selalu mengamalkan apa yang telah diperolehnya untuk masyarakat
h)     Syukuran
Syukuran merupakan simbol verbal yang muncul setelah proses doa dimana semua peserta makan sesaji bersama- sama syukuran bermakna bahwa semua sedekah yang telah dikeluarkan oleh warga desa Mantren dengan harapan upacara adat Tetaken tetap lestari

D.    PENUTUP
Dari penjabaran yang telah diuraikan, Upacara adat Tetaken merupakan tradisi masyarakat Pacitan khususnya masyarakat Desa Mantren Kecamatan Kebonagung yang dilaksanakan tiap tahun pada bulan Muharram atau bulan Suro. Acara ini dimaksudkan untuk mengenang sejarah Ki Tunggul Wulung yang telah membuka lahan di kaki gunung lima dan sekarang dikenal dengan nama desa Mantren.
Upacara ini diyakini dapat menjauhkan desa tersebut dari bala bencana dan memperlancar kegiatan pertanian. Lokasi upacara Tetaken yaitu di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan yang jaraknya kurang lebih 40 km ke arah timur dari pusat kota. Upacara adat Tetaken ini juga menuntun kita untuk berusaha dalam mencapai tujuan hidup dan mengatasi segala rintangan yang menghadang. Rela berkorban demi niat yang baik. Saling tolong menolong sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Doa yang merupakan pengharapan pada Sang Pencipta sangat berberan penting dalam pencapaian apa yang dicita-citakan. Ingkung dan hasil bumi yang melambangkan hasil dari usaha yang dicapai mencontohkan pada kita bahwa setiap usaha pasti ada hasilnya. Jika usaha yang kita lakukan sudah maksimal, pasti hasilnya akan memuaskan.



Masalah pada pengisian Jumlah Jam Mengajar (JJM) untuk Kepala Sekolah Dasar tentunya menjadi perhatian tersendiri oleh operator dalam memperbarui sistem pendataan di Dapodik. Adanya kasus tidak liner jam Kepala Sekolah dibeberapa lembaga membuat Operator sekolah harus ekstra hati-hati dan teliti dalam mengisikan JJM guru dan Kepala Sekolah.

Pada kurikulum KTSP, Kepala Sekolah atau Wakasek, berhak mendapatkan JJM Linier 18 dari tugas tambahan sebagai sebagai Kepala Sekolah. Agar JJM Liniernya minimal 24 jam tercapai sebagai syarat mendapat Tunjangan, maka 6 Jam tambahannya ditambahkan dari jam mengajar sesuai kode sertifikasinya. Misalnya jika guru kelas, maka tambahan 6 jam itu adalah 2 Jam di kelas 4, 5, dan 6 yang diisikan di pembagian rombongan belajar (rombel) pada Aplikasi Pendataan Dapodik. Mapping rombel Kepsek/Wakasek harus pada kelas tinggi yaitu kelas 4, 5 dan 6. Sangat disarankan untuk Kepala Sekolah/Wakasek lebih baik mengajar bidang studi PKn. Dari banyak contoh kasus, bidang studi ini dipastikan linier.

Akan tetapi bagaimana dengan Sekolah yang mulai menerapkan Kurikulum 2013 untuk kelas 1 dan 4 pada tahun pelajaran 2016/2017? Dalam kesempatan ini saya akan memberikan contoh pengisian JJM Guru dan Kepala Sekolah dimana berlaku Kurikulum 2013 untuk kelas 1 dan 4, contoh ini saya ambil dari Dapodik di sekolah saya sendiri.










by Mas Han
SD Negeri Sidomulyo I





Khasanah budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya tradisi Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, upacara Kasada di Bromo, dan Upacara Tetaken di Pacitan.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang tersebar di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix). 

Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk upacara tradisi, seperti halnya; Tetaken, tradisi budaya yang terdapat di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan  ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar, dan juga pemerintah berperan serta didalam pelaksanaannya.
Tetaken berasal dari kata “tetekian”, “teteki” mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an, bermakna tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan maka kata “tetekian” berubah pengucapannya menjadi “tetaken” tanpa mengurangi makna sesungguhnya. Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat kembali proses datangnya Eyang Tunggul Wulung dan Mbah Brayut ke Gunung Limo dan menetap di lereng Gunung Limo 



Dalam pelaksanaannya, tetaken adalah acara pembuka rangkaian acara berikutnya, tak lama setelah rombongan turun, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren).
Secara bergilir para pembawa legen (air nira) menuang isi. Ini adalah sambutan dari masyarakat Gunung Limo yang dalam kehidupan sehari-hari bekerja sebagai pencari nira. Tradisi tetaken sendiri membawakan berkah bagi kehidupan sehari, menjadikan simbol kekuatan dan spiritual, gunung limo merupakan sumber kekuatan dan nilai spiritual

 
Pada akhir acara, semua warga melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya.