WILAYAH NEGARA INDONESIA
DI SUSUN OLEH :
URIP ROKHMANUDIN, A.Ma.Pust
KATA PENGANTAR
Asslamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman dan
nikmat islam kepada kita, tak lupa shalawat beserta salam kami limpah curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada
kesempatan ini kami selaku penulis mencoba untuk membuat makalah tentang
Wilayah Negara Indonesia.
Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada segenap pembaca. Apabila dalam makalah ini terdapat
banyak kekurangan, kami mohon maaf. Dan kami sangat menantikan saran dn kritik
pembaca yang sifatnya membangun. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Pacitan,
19 Juni 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas
Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas Otonomi dan tugas
pembantuan.
Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia
menurut Undang Undang Dasar 1945 secara jelas mengatur adanya pembagian Daerah
dengan susunan pemerintahannya yang bersifat otonom yang ditetapkan dengan
Undang-undang. Istilah yang bersifat otonom ini, memberikan keleluasaan kepada Daerah
untuk mengatur, mengurus serta menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan
menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).
Hal ini ditekankan pada percepatan terwujudnya
tingkat kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian Otonomi kepada Daerah
merupakan penjabaran dari Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diimplementasikan ke
dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang pada
perkembangannya digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Nilai dasar yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 adalah dalam Pasal 10 mengenai pembagian urusan pemerintahan. Pasal
10 ayat (1) menjelaskan bahwa “Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi wewenangnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Selanjutnya ayat (2)
menjelaskan bahwa “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah, Pemerintahan Daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendri urusan pemerintahan berdasarkan asas Otonomi dan
tugas pembantuan”. Kemudian ayat (3) dijelaskan pula bahwa “Urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah ialah kewenangan dalam bidang (a) politik luar
negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiscal, (f)
serta agama yang masih merupakan kewenangannya Pemerintah Pusat. Berdasarkan Pasal
18 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan
Kota yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan
Undang-undang.
Negara Republik Indonesia sebagai
Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas
Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pelaksanaan asas
Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Konstruksi perwilayahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menempatkan Provinsi sebagai Daerah otonom
sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa
antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mempunyai keterkaitan dan hubungan
hirarkis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem
dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan. Adanya pemikiran bahwa Provinsi
dengan Kabupaten Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsip-prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 yang secara
jelas telah mengatur secara sistematis antara masing-masing tingkat
pemerintahan. Menyadari hal itu, maka dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Gubernur sebagai wakil Pemerintah menerima
pelimpahan wewenang di bidang
pemerintahan umum dan pelimpahan wewenang urusan teknis Departemen.
BAB II
PEMBAHASAN
Wilayah negara kesatuan
republik indonesia
"Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara dengan
wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang".
(Pasal 25A UUD 1945)
Peta Indonesia
Wilayah negara
merupakan daerah atau lingkungan yang menunjukkan batas batas suatu negara,
dimana dalam wilayah tersebut negara dapat melaksanakan kekuasaanya, menjadi
tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat untuk mengorganisir dan
menyelenggarakan pemerintahannnya.
Macam – macam Wilayah Negara
Wilayah negara mencakup:
a. Daratan
Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang
mencakup dua negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau
traktat. Misalnya:
·
1) Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20
Juli 1891 menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.
·
2) Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia
mengenai garis-garis batas tertentu dengan Papua Nugini yang
ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973.
b. Lautan
Pada awalnya, ada dua konsepsi (pandangan) pokok
mengenai wilayah lautan, yaitures nullius dan res communis.
·
1). Res nullius adalah konsepsi yang
menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing
negara. Konsepsi ini dikem-bangkan oleh John Sheldon (1584 - 1654) dari
Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea.
·
2). Res communis adalah konsepsi yang
beranggapan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak
dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini
kemudian dikembangkan oleh Hugo de Groot (Grotius) dari Belanda pada tahun
1608 dalarn buku Mare Liberum (Laut Bebas). Karena konsepsi inilah,
kemudian Grotius di anggap sebagai bapak hukum internasional.
Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh
dasar hukum yaitu Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang
diselenggarakan oleh PBB atau United
Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica.
Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2
organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982.
Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut
terinci sebagai berikut :
a. Batas Laut Teritorial
Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut
teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang
ditarik dari pantai.
b. Batas Zona Bersebelahan
Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau
24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini
negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang
melanggar undang-undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban
negara.
c. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang
batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara
pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta
melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau
terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa
di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap
nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.
d. Batas Landas Benua
Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang
lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan
eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan
masyarakat internasional.
c. Udara
Pada saat ini, belum ada kesepakatan di forum
internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris
1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan
bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif di ruang
udara di atas wilayahnya. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan para
ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak
ketinggian di ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia,
menurut Undang-undang No. 20 Tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah
kedaulatan dirgantara yang termasuk orbit geo-stationer adalah 35.761
km. Sebagai acuan, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para
ahli mengenai batas wilayah udara sebagai berikut;
a. Lee
Lee berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak
tembak meriam yang dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial
negara. Di luar jarak tembak itu, harus dinyatakan sebagai udara bebas,
dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat udara negara mana pun.
b. Van Holzen Dorf
Holzen menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah
1.000 meter dari titik permukaan bumi yang tertinggi.
c. Henrich's
Menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang
atmosfir selama masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada
ketinggian 196 mil. Di luar atmosfir, negara sudah tidak lagi mempunyai
kedaulatan.
Di samping pendapat para ahli tentang batas wilayah
udara ada beberapa teori tentang konsepsi wiiayah udara yang dikenal pada
saat ini. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut;
a. Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory
Penganut teori ini terbagi dalam dua aliran, yaitu
kebebasan ruang udara tanpa batas dan kebebasan udara terbatas.
1) Kebebasan ruang udara tanpa batas. Menurut aiiran
ini, ruang udara itu bebas dan dapat digunakan oleh siapa pun. Tidak ada
riegara yang mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara,
2) Kebebasan udara terbatas, terbagi menjadi dua.
Hasil sidang Institute de Droit International pada sidangnya di Gent
(1906), Verona (1910) dan Madrid (1911).
·
a) Setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu
untuk memeiihara keamanan dan keselamatannya.
·
b) Negara kolong (negara bawah, subjacent state) hanya mempunyai hak
terhadap wilayah / zona teritorial.
b. Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air
Sovereignity)
Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu
negara harus terbatas.
·
1) Teori Keamanan. Teori ini menyatakan bahwa suatu
negara mempunyai kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan
untuk menjaga keamanannya. Teori ini dikemukakan oleh Fauchille pada tahun
1901 yang menetapkan ketinggian wiiayah udara adalah 1.500 m. Namun pada
tahun 1910 ketinggian itu diturunkan menjadi 500 m.
·
2) Teori Pengawasan Cooper (Cooper's Control Theory).
Menurut Cooper (1951), Kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara
yang bersangkutan untuk mengawasi ruang udara yang ada di atas wilayahnya
secara fisik dan ilmiah,
·
3) Teori Udara (Schacter). Menurut teori ini, wiiayah
udara itu haruslah sampai suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu
mengangkat (mengapungkan) balon dan pesawat udara.
d. Daerah Ekstrateritorial
Daerah Ekstrateritorial adalah daerah atau wilayah
kekuasaan hukum suatu negara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum
Negara lain. Berdasarkan hukum internasional yang mengacu pada hasil
Reglemen dalam Kongres Wina tahun 1815 dan Kongres Aachen tahun 1818, pada
perwakilan diplomatik setiap negara terdapat daerah ekstrateritorial.
Di daerah ekstrateritorial berlaku larangan bagi alat
negara, seperti polisi dan pejabat kehakiman, untuk masuk tanpa izin resmi
pihak kedutaan. Daerah itu juga bebas dari pengawasan dan sensor terhadap
setiap kegiatan yang ada dan selama di dalam wilayah perwakilan tersebut.
Daerah ekstrateritorial dapat juga diberlakukan pada
kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka di bawah bendera suatu
negara tertentu.
Batas Wilayah Negara
Penentuan batas wilayah negara, baik yang berupa
daratan dan atau lautan (perairan), lazim dibuat dalam bentuk perjanjian
(traktat) bilateral serta multilateral. Batas antara satu negara dengan
negara lain dapat berupa batas alam (sungai, danau, pegunungan, atau lembah)
dan batas buatan, misalnya pagar tembok, pagar kawat berduri, dan
tiang-tiang tembok. Ada juga negara yang menggunakan batas menurut
geofisika berupa garis lintang.
Batas suatu wilayah negara yang jelas sangat penting
artinya bagi keamanan dan kedaulatan suatu negara dalam segala bentuknya.
Kepentingan itu juga berkaitan dengan pemanfaatan kekayaan alam, baik di
darat maupun di laut, pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara, dan
pemberian status orang-orang yang ada di dalam negara bersangkutan.
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai
perbatasan darat dengan 3 (tiga) negara tetangga (Malaysia, Papua Nugini
dan Timor Leste) serta 11 perbatasan laut dengan negara tetangga (India,
Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Federal State
of Micronesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia).
Adapun perbatasan udara mengikuti perbatasan darat dan
perbatasan teritorial laut antar negara. Hingga saat ini penetapan batas
dengan negara tetangga masih belum semua dapat diselesaikan. Permasalahan
penetapan perbatasan negara saat ini masih ada yang secara intensif
sedang dirundingkan dan masih ada yang belum dirundingkan. Kondisi situasi
demikian menjadi suatu bentuk ancaman, tantangan, hambatan yang dapat
mengganggu kedaulatan hak berdaulat NKRI.
Permasalahan perbatasan yang muncul dari luar
(eksternal) adalah: adanya berbagai pelanggaran wilayah darat, wilayah
laut dan wilayah udara kedaulatan NKRI. Disini rawan terjadi kegiatan illegal
seperti:
1.
illegal logging,
2.
illegal fishing,
3.
illegal trading,
4.
illegal traficking
dan
5.
trans-national crime
Hal tersebut merupakan bentuk ancaman faktual
disekitar perbatasan yang akan dapat berubah menjadi ancaman potensial
apabila pemerintah kurang bijak dalam menangani permasalahan tersebut.
Sedangkan permasalahan perbatasan yang muncul dari
dalam (internal) adalah: tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan SDM
yang masih rendah, kurangnya sarana prasarana infrastruktur dan lain-lain
sehingga dapat mengakibatkan kerawanan dan pengaruh dari negara tetangga.
Perbatasan negara merupakan manifestasi dari
kedaulatan wilayah suatu negara, dan mempunyai peranan penting dalam
penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam,
menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Idealnya wilayah perbatasan
juga sekaligus berfungsi sebagai “frontier” atau sebagai wilayah yang
dapat untuk memperluas pengaruh (sphere of influence) dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan terhadap negara-negara disekitarnya,
sehingga pembangunan wilayah perbatasan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional yang meliputi semua aspek kehidupan.
Oleh karena itu wilayah perbatasan bukan merupakan
bidang masalah tunggal tetapi merupakan masalah multidemensi yang
memerlukan dukungan politik nasional untuk mengatasinya.
Kementerian
Luar Negeri sebagai ujung tombak pemerintah bagi penyelesaian
batas wilayah dengan negara-negara tetangga, bersama dengan
kementerian-kementerian dan lembaga terkait lainnya turut serta merumuskan
kebijakan dan hal-hal teknis yang diperlukan untuk menghadapi
perundingan-perundingan dengan negara-negara tetangga.
Selain itu, pemerintah telah berupaya untuk menggunakan diplomasi dan perundingan yang lebih baik bagi penyelesaian batas wilayah yang belum tuntas dengan negara-negara tetangga, dan upaya tersebut juga untuk mencegah terjadinya ketegangan di batas wilayah negara. Untuk itu, masalah perbatasan hanya bisa diselesaikan oleh negara-negara tersebut yang terkait langsung dengan kepentingannya, sehingga permasalahan batas wilayah tidak bisa diselesaikan oleh salah satu negara saja tetapi melibatkan negara-negara lainnya. Dengan demikian setiap ada permasalahan terkait masalah batas wilayah negara diharapkan dapat diselesaikan dengan cara diplomasi atau perundingan-perundingan walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Selain itu, pemerintah telah berupaya untuk menggunakan diplomasi dan perundingan yang lebih baik bagi penyelesaian batas wilayah yang belum tuntas dengan negara-negara tetangga, dan upaya tersebut juga untuk mencegah terjadinya ketegangan di batas wilayah negara. Untuk itu, masalah perbatasan hanya bisa diselesaikan oleh negara-negara tersebut yang terkait langsung dengan kepentingannya, sehingga permasalahan batas wilayah tidak bisa diselesaikan oleh salah satu negara saja tetapi melibatkan negara-negara lainnya. Dengan demikian setiap ada permasalahan terkait masalah batas wilayah negara diharapkan dapat diselesaikan dengan cara diplomasi atau perundingan-perundingan walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Negara Kesatuan
Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat
internasional dan dimasukan kedalam UNCLOS III 1982, terutama pada pasal 46.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa, “Negara
Kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “
kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan
diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya
demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu
merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang
secara historis diangap sebagai demikian.” Dan dalam sejarah hukum laut
Indonesia sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957, yaitu pernyataan
Wilayah Perairan Indonesia:
“Segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara
RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian merupakan bagian daripada
perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak daripada negara RI”.
Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun
1996 Tentang Perairan Indonesiadisebutkan bahwa, “Negara
Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.” Sementara itu, dimasukannya
poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang berisi 9
pasal, yang berisi antara lain: Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara
kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan, status hukum dari perairan
kepulauan, penetapan perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas
damai melalui perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan
kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur
laut kepulauan.
Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982
dimulai dengan penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa, “negara kepulauan adalah suatu
negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut
adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan
definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan,
dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan
pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud
alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau,
perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatui kesatuan geografis,
ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai
demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara
negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu
sendiri (Agoes 2004).
Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam
amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang wilayah negara. Pada pasal 25 A
berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah negara kepulauan yang berciri nusantara
dengan wilayah-wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang”. Selain itu, dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang
Perairan indonesia, pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara
RI adalah negara kepulauan.
Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvesni
Hukum laut PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan
pulau-pulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan
peundang-undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara
kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji,
Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG,
Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe,
Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu (Agoes 2004).
Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah
RI mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik
garis pangkal kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa
pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut
teritorial. Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan
menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa garis pangkal
lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan kuala,
serta garis penutup pada pelabuhan.
Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau
kecil, khususnya pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga, masih menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan
oleh Malaysia telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional.
Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai
kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari maraknya potensi
konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres
No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Perpres
tersebut bertujuan untuk:
1.
Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional,
pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan.
2.
Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan
yang berkelanjutan.
3.
Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan
kesejahteraan.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan
dapat mengatasi ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional
penangkapan ikan ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan
perempuan (trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan
senjata dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta
potensi konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk
menjaga pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil
diperbatasan tidak dianggap sekedar halaman belakang.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi
yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang
kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para
pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para
pembaca khusus pada penulis. Aamiin