MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
CIRI-CIRI ORANG YANG MENDAPATKAN KEBERUNTUNGAN
MENURUT AL QURAN


DISUSUN OLEH :
RADEN URIP ROKHMANUDIN, S.I.Pust

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS TUKUL KARANGGEDE ARJOSARI
2016





BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam al-Baqarah Allah berfirman bahwa orang yang beruntung itu ialah, yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, dan menafkahkan sebagian dari rizkinya.
Kemudian beriman kepada al-Qur’an dan kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, dan yakin terhadap hari akhirat. Nah, Muslim yang benar-benar masuk kriteria tersebut adalah orang yang mendapat petunjuk (benar) dan pasti beruntung (QS. 2: 3-5).
Jika kita pikirkan, ayat tentang keberuntungan ini Allah letakkan di awal, sesaat setelah Al-Fatihah. Artinya, ini adalah kriteria utama yang sudah semestinya setiap Muslim memilikinya. Dengan kata lain, siapa saja, Muslim yang tidak memiliki kriteria tersebut pasti tidak akan mendapat keberuntungan. Secara lebih detail Allah ulangi kembali kriteria tersebut pada Surah Al-Mu’minun ayat 1 – 11.
Misalnya, ada Muslim kaya, tapi enggan membantu kebutuhan perjuangan umat, atau paling tidak kebutuhan saudara dan tetangganya yang membutuhkan. Maka jelas ia tidak beruntung. Logika materialisnya mengatakan bahwa dengan kikir akan menjadikannya beruntung.
Tetapi, mari kita renungkan firman Allah tentang keberuntungan dan kekikiran.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghaabun [64]: 15).
Jadi, kikir sama sekali bukan jalan yang benar untuk seorang Muslim mendapatkan keberuntungan. Jika tetap kikir, maka kesengsaraannya baginya. Bayangkan, Allah sampai menegaskan sedemikian rupa, “Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Muslim yang enggan sedekah bahkan menolak zakat ini ada contohnya di zaman Nabi, yakni Tsa’labah. Tsa’labah ini awalnya miskin, pakaian hanya sepotong yang digunakan secara bergantian dengan istrinya kala hendak sholat. Setelah mengadu kepada Nabi, Allah pun memberikan kekayaan melalui ternak yang diupayakannya.
Tetapi, setelah kaya, Tsa’labah tidak lagi sholat berjama’ah, tidak tertarik bertemu Nabi (mengkaji ilmu). Parahnya, ia menolak membayar zakat. Akhirnya, Allah menghukumnya dan mengembalikan Tsa’labah dalam keadaan miskin lagi terhina.
Oleh karena itu, seorang Muslim jangan coba-coba memelihara sifat kikir, kemudian tidak mendirikan sholat dan melupakan dzikir kepada-Nya. Apalgi, itu semua dilakukan dengan alasan pekerjaan, perniagaan atau apa pun yang intinya berurusan dengan keduniaan alias kekayaan. Yakin atau tidak, semua itu pada akhirnya hanya akan mengarahkan hidup seseorang pada kesengsaraan.
Rizki itu harus dicari, kekayaan boleh diperoleh, tapi tetap utamakan sholat dan jangan berhenti dzikir kepada-Nya. Di dalam Al-Qur’an, Allah memberikan peringatan penting untuk kita,
Dalam Al Quran telah dijelaskan ciri-ciri orang yang mendapat keberuntungan, sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci dalam kajian makalah ini.










BAB II
PEMBAHASAN

A.   Q.S Ali Imron (130)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Firman-Nya: yaa ayyuHal ladziina aamanushbiruu wa shaabiruu wa raabithuu (“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah bersiap siaga [di perbatasan negerimu].”) Hasan al-Bashri berkata: mereka diperintahkan untuk senantiasa bersabar dalam menjalankan agamanya yang diridhai oleh Allah, yaitu agama Islam. Sehingga mereka tidak akan meninggalkannya pada saat sengsara maupun pada saat bahagia, pada saat kesusahan maupun pada saat penuh kemudahan, hingga akhirnya mereka benar-benar mati dalam keadaan muslim. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk memperkuat kesabaran mereka terhadap musuh-musuh yang menyembunyikan agama mereka. Hal yang lama juga dikatakan oleh beberapa ulama Salaf.
Sedangkan murabathah berarti teguh dan senantiasa berada di tempat ibadah. Ada juga yang mengartikannya dengan tindakan menunggu shalat setelah shalat. Hal itu dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Sahl bin Hunaif, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan yang lainnya.
Di sini Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadits yang juga diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i dari Malik bin Anas dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para Sahabat menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Yaitu, menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (seperti pada saat udara sangat dingin), banyak melangkahkan kaki ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Demikian itu adalah ribath. Demikian itu adalah ribath (menahan diri atas ketaatan yang disyari’atkan). Demikian itu adalah ribath.” Wallahu a’lam.
Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan murabathah di sini adalah keteguhan berperang melawan musuh, mempertahankan kemuliaan Islam, serta menjaganya agar musuh tidak masuk ke daerah Islam. Telah banyak hadits yang menganjurkan hal tersebut disertai dengan penyebutan pahala yang besar bagi yang melakukannya.
Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Sahl binSa’ad as-Sa’idi, bahwa Rasulullah, bersabda: “Ribath (bersikap siaga di perbatasan) selama satu hari di jalan Allah, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan dari Salman al-Farisi, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Ribath satu hari satu malam lebih baik daripada puasa satu bulan penuh dan qiyamul lail pada bulan itu. Jika meninggal dunia, maka amal yang dilakukannya masih terus berlaku, rizkinya pun terus mengalir, dan dia aman dari berbagai fitnah.” (HR. Muslim)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Haiwah bin Syuraih, Abu Hani’ al-Khaulani memberitakan kepadaku, bahwa ‘Amr bin Malik al-Haini pernah memberitahukan kepadanya bahwa ia telah mendengar Fadhalah bin ‘Ubaid berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Setiap orang yang meninggal itu berakhir amalannya kecuali yang meninggal dalam keadaan ribath di jalan Allah maka amalnya itu senantiasa berkembang sampai hari Kiamat dan dia diamankan dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad)
Demikian juga yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan Imam at-Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan shahih. Dan Ibnu Hibban mengeluarkannya dalam kitab Shahihnya.
Sedangkan Abu Dawud berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah Ibnu Salam, telah menceritakan kepadaku as-Saluli, bahwasanya disampaikan kepadanya sebua hadits oleh Sahl bin al-Hanzhalah, bahwa mereka pernah berjalan bersama Rasulullah pada waktu perang Hunain, sampai pada waktu ‘Isya’. Kemudian aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah, lalu datanglah seseorang penunggang kuda dan mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bertolak dari hadapan kalian, sehingga aku melihat gunung ini dan itu, tiba-tiba aku melihat kabilah Hawazin, semuanya tanpa ada yang ketinggalan sedang berkemah dengan unta-untanya, berbagai barang berharga, serta domba-domba mereka.”
Maka Rasulullah pun tersenyum seraya bersabda: “Itu semua adalah ghanimah kaum muslimin besok insya Allah (jika Allah menghendaki).’ Lebih lanjut beliau bertanya: “Siapa yang akan menjaga kami malam ini?” Anas bin Abi Martsad berkata: “Aku, ya Rasulullah.” “Kalau begitu, tunggang-lah,” sahut Rasulullah. Maka Anas pun menunggangi kuda miliknya. Setelah itu ia mendatangi Rasulullah, maka beliau bersabda kepadanya: “Telusuri jalan pengunungan ini hingga sampai ke puncaknya dan jangan engkau serang orang yang menjumpaimu malam ini.” Ketika pagi hari tiba, beliau berangkat ke tempat shalat dan mengerjakan shalat dua rakaat dan setelah itu beliau bertanya: “Apakah kalian telah memperoleh berita mengenai utusan berkuda kalian?” Seseorang menjawab: “Kami belum mengetahuinya, ya Rasulullah.”
Kemudian beliau berangkat shalat, dan ketika sedang mengerjakan shalat, beliau menoleh ke arah jalan pegunungan tersebut, hingga ketika shalatnya telah usai beliau bersabda; “Berbahagialah, sesungguhnya utusan berkuda kalian telah datang kepada kalian.” Maka kami pun melihatnya melalui sela-sela pepohonan, ternyata memang benar ia telah datang. Lalu orang itupun berhenti di hadapan Nabi seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah ber-tolak hingga aku sampai di puncak gunung itu seperti yang telah engkau perintahkan. Dan ketika pagi harinya, aku menaiki kedua lereng tersebut, lalu aku mengamati (mengawasi) ternyata aku tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bertanya kepadanya: “Apakah engkau pada tadi malam turun?” Ia menjawab: “Tidak, kecuali untuk shalat atau buang hajat.” Maka Rasulullah bersabda: “Engkau telah mendapatkan pahalanya, maka sesudah itu tidak akan membahayakanmu bila kamu tidak beramal lagi.” (HR. An-Nasa’i)
Dalam kitab Shahih al-Bukhari telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian. Hingga jika diberi,ia senang dan jika tidak diberi, ia marah. Celaka dan sengsaralah. Dan jika tertusuk duri, maka ia tidak dapat mencabutnya. Beruntunglah bagi seorang hamba yang mempergunakan kudanya untuk kepentingan di jalan Allah, rambutnya kusut masai, kedua kakinya berlumuran debu. Jika ia diperintahkan untuk berjaga, maka ia berjaga dan bila ia diperintahkan untuk berada di akhir pasukan maka ia siap berada di garis belakang. Jika ia meminta izin (untuk menemui penguasa), tidak diberikan izin kepadanya, dan jika meminta syafa’at (untuk menjadi perantara), tidak diberikan syafa’at untuknya (tidak diterima perantaraannya).” (Karena tawadhu’ dan jauh dari sikap ingin terkenal).
Ini hadits terakhir yang kami kemukakan berkaitan dengan pembahasan ini. Segala puji bagi Allah atas berbagai nikmat yang datang dari tahun ke tahun, dari hari ke hari.
Ibnu Jarir berkata: Abu ‘Ubaidah pernah menulis surat kepada ‘Umar bin al-Khaththab yang memberitahukan kepadanya beberapa golongan dari bangsa Romawi dan apa yang ditakutkan dari mereka. Maka ‘Umar pun mengirimkan balasan surat itu kepadanya. (Dituliskan), Amma Ba’du. Meskipun apa saja yang menimpa seorang mukmin dari satu kesulitan (penderitaan), maka pasti setelah itu Allah menjadikan baginya kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan itu tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Sesunguhnya Allah swt. berfirman, yaa ayyuHal ladziina aamanushbiruu wa shaabiruu wa raabithuu (“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah bersiap siaga [di perbatasan negerimu].”)
Demikianlah yang diriwayatkan al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam biografi Abdullah Ibnu al-Mubarak melalui jalan Muhammad bin Ibrahim bin Abi Sakinah, ia menceritakan, aku pernah mendiktekan kepada ‘Abdullah bin al-Mubarak bait-bait berikut ini di Tharsus dan aku berpamitan kepadanya untuk keluar. Dan kau bacakan bait-bait itu kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh padatahun 170 H, dalam riwayat lain disebutkan pada tahun 177 H:
Wahai yang beribadah di Haramain, andai saja engkau melihat kami, niscaya engkau akan mengetahui bahwa engkau bermain-main dalam beribadah. Jika orang membasahi pipinya dengan air matanya, maka kami membasahi wajah kami dengan darah kami. Atau jika orang melelahkan kudanya dalam kebathilan, maka kuda-kuda kami merasa kelelahan pada pagi hari esok. Bau wangi menyerbak untuk kalian, sedang bau wangi kami adalah tanah pada kuku kaki kuda dan debu yang baik. Telah datang kepada kami ungkapan Nabi kami, ungkapan yang benar dan tidak berbohong.
Tidak sama antara debu kuda Allah di hidung seseorang dan asap api yang berkobar. Inilah kitab Allah berbicara di tengah-tengah kita, dan saksi terhadap mayat itu tidak berbohong.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya, lalu aku menyerahkan tulisan itu kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh di Masjidilharam. Ketika ia membacanya, maka kedua matanya pun meneteskan air mata, dan ia pun berkata, “Abu ‘Abdir-Rahman itu memang benar,” ia telah menasihatiku.
Dan firman-Nya, wat taqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Yakni dalam segala urusan dan keadaan kalian. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. kepada Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk itu. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Hadits tersebut diriwayatkan Imam at-Tirmidzi. la berkata bahwa hadits ini hasan.
La-‘allakum tuflihuun (“Supaya kamu beruntung.”) Yaitu, beruntung di dunia dan di akhirat.

B.   Q.S Al Maidah (35)
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
          Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:
  1. Al Jalalain, “carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, maknanya: “carilah amal ketaatan yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al Maidah: 35)
  2. Ibnu Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan ketaatan dan amal yang Dia ridhai.” Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
  3. Ibnul Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain untuk kalimat, “Carilah al Wasilah kepadaNya..” adalah carilah kecintaan dariNya. (Zaadul Masir, surat Al Maidah ayat 35).
  4. Sementara Al Baidhawi mengatakan bahwa yang dimaksud: “carilah al wasilah kepadaNya…” adalah mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri pada pahala yang Allah berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi “Anwarut Tanzil” untuk ayat di atas).
C.   Q.S Al Maidah (90)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah : 90)
Secara harfiah, خمر berasal dari خَمَرَ , yang semakna dengan setara atau ghatha (menutup). Secara istilah, khamr dapat di definisikan kepada “minuman yang dapat menutup akal” atau memabukkan, baik orang yang meminumnya itu mabuk ataupun tidak. Jadi, minuman yang memabukkan itu disebut dengan khamr karena ia dapat menutup akal manusia.
الْمَيْسِ : kata ini berasal dari يسر (yasara), yang berarti mudah. Dan الْمَيْسِر diartikan judi karena ia merupakan usaha yang mudah untuk mendapatkan harta. Secara istilah, الْمَيْسِر sama dengan qimar, yaitu suatu permainan atau taruhan yang membuat ketentuan bahwa yang kalah harus memberikan sesuatu kepada yang menang, baik berupa uang ataupun lainnya. Mujahid mengatakan, “maysir segala sesuatu yang berlaku perjudian (qimar) padanya walaupun permainan anak-anak.” رِجْس : istilah rijs berarti sesuatu yang kotor, baik secara konkret ataupun abstrak.
Ada empat hal yang dilarang Allah dalam ayat ini, yaitu meminum khamr, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah. Perbuatan ini tidak hanya sebagai perbuatan dosa, yang berakibat buruk kepada pelakunya, terutama khamr dan judi. Perbuatan ini juga sumber maksiat dan pangkal kejahatan lainnya. Orang yang sudah terbiasa minum khamr dan berjudi akan selalu melakukan perbuatan tersebut; dia tidak akan segan mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya untuk melampiaskan ketagihannya. Selain itu, minum khamr dapat pula menghilangkan perasaan kasih sayng dan penghargaan terhadap orang lain sehingga manusia menjadi beringas buas dan jahat. Maka umat islam dilarang melakukan perbuatan itu, ia harus dianggap sebagai musuh yang dapat menghancurkan keharmonisan dalam kehidupan ini.
Karena minuman khamr, judi, berhala dan azlam merupakan dosa besar dan perbuatan setan, maka orang-orang mukmin diperintahkan agar menjauhkan perbuatan tersebut. Penggalan ayat ini (فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ) maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung menggambarkan bahwa keberuntungan akan diperoleh dengan menjauhkannya. Sebaliknya, melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dapat mendatangkan kecelakaan dan kesengsaraan. Apabila suatu masyarakat ingin memperoleh kebahagiaan, keberuntungan dan ketenangan maka perbuatan tersebut harus diperangi. Selama masyarakat tidak mau memerangi perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ayat di atas, maka selama itu pula masyarakat tersebut tidak akan memperoleh kebahagiaan dan ketentraman.
Khamr dan judi merupakan sarana bagi setan untuk menebarkan permusuhan dan kebencian antar sesama manusia. Khamr dan judi sumber perpecahan. Sifat yang dibawa sejak lahir akan hilang oleh khamr dan judi. Seorang peminum khamr dan mabuk akan mengeluarkan kata-kata kotor dan caci maki serta mengganggu orang lain, bahkan ia tidak segan-segan merusak atau membunuh manusia. Demikian pula judi, ia dapat merusak tatanan perekonomian masyarakat, ia bagaikan candu yang apabila orang terbiasa melakukannya dia akan sulit melepaskan diri daripadanya. Sesama pejudi tidak akan terjalin kasih saying, mereka saling iri dan benci.
Jadi, khamr dan judi sumber kekacauan pada masyarakat. Selama khamr dilegalkan beredar di tengah masyarakat, maka selama itu pula kedamaian yang sesungguhnya tidak akan pernah terwujud. Kedua perbuatan ini dapat menutup hati atau akal manusia sehingga kebenaran yang merupakan sumber kedamaian dan kesejahteraan akan sukar diterima oleh parapeminum dan pejudi ini.
Selain dari sumber permusuhan, kebencian dan kekacauan, khamr dan judi juga menjadi penghalang manusia dari mengingat Allah dan mendirikan shalat. Sebab, mengingat Allah dan mendirikan shalat adalah suatu kebenaran, sedangkan  hati para peminum khamr dan pejudi itu tertutup dari kebenaran tersebut. Oleh karena itu, khamr dan judi harus ditinggalkan bahkan harus dimusuhi dan di perangi sebagaimana memusuhi dan memerangi permusuhan dan kebencian itu. Atau dengan kata lain, membangun kedamaian dan ketentraman pada suatu masyarakat harus dimulai dari penghapusan judi, khamr, ekstasi, ganja dan lain sebagainya. Penghapusan itu tidak hanya pelarangan terhadap masyarakat dan pemberian hukuman yang berat pada pelakunya, tetapi juga menutup pabrik dan menghalangi pasokannya

D.   Q.S Al Maidah (100)
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, sebab itu bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan (sukses)”.
Ada satu hal yang dapat melemahkan akidah seorang mukmin. Hal itu dapat terjadi ketika mengetahui betapa banyaknya jumlah orang Kafir dan sedikitnya orang Mukmin. Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, tolok ukur kebenaran bukan dari banyak dan mayoritas. Apabila mayoritas sebuah masyarakat bertentangan dengan jalan yang ditempuh agama dan para nabi, maka keyakinan dan akidah itu tidak akan menggeser kebenaran. Karena kebenaran adalah sesuatu yang datang  dari sisi Allah dan akal sehat manusia. Dengan demikian kebenaran pasti dapat diketahui karena memiliki tolok ukur.
Di bagian terakhir dari ayat ini Allah mengarahkan  pembicaraan kepada kalangan cerdik pandai dan mengatakan, apabila kalian ingin memperoleh kebahagiaan, maka kalian harus memandang segala sesuatunya dari sisi-Nya. Dia lah yang memberikan  penjelasan mengenai kebenaran dan kebatilan. Karena bagaimanapun juga tidak sama kebusukan dan keindahan, kesucian dan kekotoran serta kebaikan dan keburukan. Apakah dapat diterima perbuatan-perbuatan jelek yang dikarenakan banyaknya pengikut, lalu dapat dihilangkan kemudian diganti menjadi indah dan suci
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1.    Mayoritas bukan tolok ukur kebenaran dan kebaikan. Oleh karenanya harus bersama jamaah dan mayoritas bukan logika al-Quran.
2.    Setiap manusia memiliki akal, tapi kebanyakan tidak berlaku sesuai dengan akal sehatnya. Kebanyakan mereka lebih memilih untuk berperilaku sesuai dengan mayoritas, bukan dengan akalnya.
3.    Bukan hanya kebahagiaan dan kejujuran  yang bertumpu pada akal, tapi iman dan takwa juga demikian, sehingga manusia mengenal dan memilih kebenaran berdasarkan  tolok ukur Ilahi.

E.   Q.S Al Anfal (45)
Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.
Dalam ayat ini Allah Taala memerintahkan kepada kaum Muslimin, bila mereka menjumpai segolongan dari pasukan musuh supaya meneguhkan hati dan selalu menyebut nama Allah dengan banyak berzikir agar mereka mencapai kejayaan, ketabahan hati dalam pertempuran dan tidak lari dari musuh. Hal ini merupakan suatu pokok kekuatan yang menyebabkan kemenangan dalam setiap perjuangan, baik sebagai perorangan maupun sebagai tentara. Dalam arena adu tinju atau gulat kedua orang petinju atau pegulat itu setelah bergumul beberapa lama, tentu akan merasa letih dan lemah dan masing-masing menanti-nantikan suatu saat atau kesempatan dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi kadang-kadang terlintas pula dalam hatinya bahwa lawannya itu akan dihinggapi ketakutan, sehingga ia bertahan memelihara ketabahan hati hingga pada saat ronde terakhir dinyatakan sebagai pemenang walaupun hanya dengan angka. Demikian pula dalam setiap pertempuran antara pasukan dengan pasukan, yang menyebabkan keunggulan itu ialah ketabahan hati dari tentaranya dan tidak ada sifat putus asa. Ketabahan hati itu sangat berguna dalam tiap-tiap perjuangan. Demikian pula Allah memerintahkan kaum Muslimin supaya memperbanyak zikir kepada Allah dalam menghadapi peperangan dengan selalu mengingat kekuasaan dan janji-Nya akan memberi pertolongan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Setiap pejuang muslim harus yakin bahwa kemenangan itu berada di tangan Allah dan Allah akan memberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Berzikir itu ialah dengan membaca takbir "allahu akbar" atau memanjatkan doa dengan ikhlas serta meyakini bahwa Allah Maha Kuasa dan dapat memberi kemenangan. Ketabahan hati dan banyak zikir kepada Allah itu adalah dua perkara yang sangat penting untuk mencapai kejayaan.
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan musuh yang bersenjata, maka hadapilah mereka. Janganlah kalian merasa gentar, apalagi mundur. Berzikirlah kepada Allah. Ingatlah kebesaran dan janji Allah untuk memenangkan orang-orang beriman. Perbanyaklah zikir kalian dengan tegar dan sabar. Apabila kalian melaksanakan semua ketentuan itu, niscaya harapan kalian akan terwujud. Ayat ini mengisyaratkan pentingnya ketegaran jiwa dalam menghadapi musuh. Petunjuk yang dapat diambil dari ayat ini adalah bahwa seseorang yang berada dalam suatu peperangan, tidak dibenarkan lalai sedetik pun dalam mengingat Allah (zikir), lebih-lebih pada saat-saat kritis. Disinggung pula dalam ayat ini pentingnya jiwa keberagamaan dan keimanan dalam rangka memompa kekuatan batin (inner force) dan ketegaran jiwa. Ayat ini juga menerangkan pentingnya arti taat kepada Allah dan rasul-Nya sebagai upaya menghindari kegagalan.

F.   Q.S Al A’rof (69)
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
(Apakah kamu tidak percaya dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh) lisan (seorang laki-laki di antara kamu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti yang berkuasa) di muka bumi (sesudah lenyapnya kaum Nuh dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu) memberi kekuatan dan tinggi tubuh; tersebutlah bahwa orang yang paling tinggi di antara mereka adalah seratus hasta, sedangkan yang paling pendek enam puluh hasta (Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah) yaitu karunia-karunia-Nya (supaya kamu mendapat keberuntungan) supaya kamu memperoleh keberhasilan.
Kemudian Hûd berkata kepada mereka, "Apakah kalian heran dan merasa aneh dengan kedatangan peringatan berupa kebenaran melalui salah seorang di antara kalian yang mengingatkan akibat buruk dari perbuatan kalian? Tidak ada yang perlu diherankan!" Lalu Hûd menunjukkan musibah yang diderita orang-orang terdahulu yang mendustakan dan mengingatkan nikmat Allah kepada mereka dengan berkata, "Ingatlah ketika Tuhan menjadikan kalian pewaris negeri setelah kaum Nûh yang dihancurkan oleh Allah karena mendustakan Nûh. Dia telah memberikan kalian kekuatan fisik dan kekuasaan yang tangguh. Itulah nikmat yang semestinya harus membuat kalian beriman. Maka ingatlah nikmat-nikmat tersebut agar kalian beruntung."

G.   Q.S Al Hajj (77)
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(Hai orang-orang yang beriman! Rukuk dan sujudlah kalian) salatlah kalian (dan sembahlah Rabb kalian) tauhidkanlah Dia (dan perbuatlah kebaikan) seperti menghubungkan silaturahim dan melakukan akhlak-akhlak yang mulia (supaya kalian mendapat keberuntungan) kalian beruntung karena dapat hidup abadi di surga.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mempedulikan ajakan sesat orang-orang kafir itu! Teruslah mengerjakan salat dengan sempurna dan benarl, dengan melakukan rukuk dan sujud! Lalu sembahlah Tuhan yang menciptakan dan memberi kalian rezeki! Janganlah kalian mempersekutukan-Nya! Sebaliknya, lakukanlah segala sesuatu yang bisa membawa kebaikan dan manfaat, agar kalian termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang selalu melakukan perbaikan!

H.   Q.S An Nur (31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

(Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya (dan memelihara kemaluannya) dari hal-hal yang tidak dihalalkan untuknya (dan janganlah mereka menampakkan) memperlihatkan (perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) yaitu wajah dan dua telapak tangannya, maka kedua perhiasannya itu boleh dilihat oleh lelaki lain, jika tidak dikhawatirkan adanya fitnah. Demikianlah menurut pendapat yang membolehkannya. Akan tetapi menurut pendapat yang lain hal itu diharamkan secara mutlak, sebab merupakan sumber terjadinya fitnah. Pendapat yang kedua ini lebih kuat demi untuk menutup pintu fitnah. (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya) hendaknya mereka menutupi kepala, leher dan dada mereka dengan kerudung atau jilbabnya (dan janganlah menampakkan perhiasannya) perhiasan yang tersembunyi, yaitu selain dari wajah dan dua telapak tangan (kecuali kepada suami mereka) bentuk jamak dari lafal Ba'lun artinya suami (atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki) diperbolehkan bagi mereka melihatnya kecuali anggota tubuh antara pusar dan lututnya, anggota tersebut haram untuk dilihat oleh mereka selain dari suaminya sendiri. Dikecualikan dari lafal Nisaaihinna, yaitu perempuan-perempuan yang kafir, bagi wanita Muslimat tidak boleh membuka aurat di hadapan mereka. Termasuk pula ke dalam pengertian Maa Malakat Aymaanuhunna, yaitu hamba sahaya laki-laki miliknya (atau pelayan-pelayan laki-laki) yakni pembantu-pembantu laki-laki (yang tidak) kalau dibaca Ghairi berarti menjadi sifat dan kalau dibaca Ghaira berarti menjadi Istitsna (mempunyai keinginan) terhadap wanita (dari kalangan kaum laki-laki) seumpamanya penis masing-masing tidak dapat bereaksi (atau anak-anak) lafal Ath-Thifl bermakna jamak sekalipun bentuk lafalnya tunggal (yang masih belum mengerti) belum memahami (tentang aurat wanita) belum mengerti persetubuhan, maka kaum wanita boleh menampakkan aurat mereka terhadap orang-orang tersebut selain antara pusar dan lututnya. (Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan) yaitu berupa gelang kaki, sehingga menimbulkan suara gemerincing. (Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman) dari apa yang telah kalian kerjakan, yaitu sehubungan dengan pandangan yang dilarang ini dan hal-hal lainnya yang dilarang (supaya kalian beruntung") maksudnya selamat dari hal tersebut karena tobat kalian diterima. Pada ayat ini ungkapan Mudzakkar mendominasi atas Muannats.

I.     Q.S Al Jum’ah (10)
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi) perintah ini menunjukkan pengertian ibahah atau boleh (dan carilah) carilah rezeki (karunia Allah, dan ingatlah Allah) dengan ingatan (sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung) yakni memperoleh keberuntungan. Pada hari Jumat, Nabi saw. berkhutbah akan tetapi tiba-tiba datanglah rombongan kafilah membawa barang-barang dagangan, lalu dipukullah genderang menyambut kedatangannya sebagaimana biasanya. Maka orang-orang pun berhamburan keluar dari mesjid untuk menemui rombongan itu, kecuali hanya dua belas orang saja yang masih tetap bersama Nabi saw. lalu turunlah ayat ini.
Apabila kalian telah melakukan salat, maka bertebaranlah untuk berbagai kepentingan. Carilah karunia Allah dan berzikirlah kepada-Nya banyak-banyak, dalam hati maupun dan dengan ucapan. Mudah-mudahan kalian memperoleh keberuntungan dunia dan akhirat.


























BAB III
KESIMPULAN


Sejumlah orang meyakini keberuntungan adalah sebuah kebetulan. Orang seperti ini telah menunjukkan pandangannya terhadap realita, Tuhan, ideologi dan keimanannya. Menurut pandangan dunia Tauhid, mereka yang yakin akan keberuntungan telah terlilit syirik ringan dan tersembunyi. Karena ia telah memberikan tempat kepada selain Tuhan. Lebih buruk lagi, orang seperti ini menolak adanya sebab bagi fenomena dan peristiwa yang terjadi di dunia. Mereka terjebak dalam pemikiran kebetulan. Artinya setiap peristiwa yang terjadi di dunia terjadi secara kebetulan tanpa adanya sebab
Banyak faktor di mana seseorang dalam menganalisa perilakunya dan orang lain bersandar pada keberuntungan. Di antara faktor terpenting adalah tidak adanya pengetahuan yang cukup dan sempurna mengenai wujud serta tidak memiliki pengetahuan mengenai ketuhanan dan wahyu. Mayoritas ayat al-Quran berusaha menjelaskan Siapa Tuhan, bagaimana Ia mengelola alam semesta, dan apa tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, dirinya sendiri dan dunia?
Jika manusia memiliki pandangan teologi dan ontologi yang bersandar pada wahyu tidak akan pernah terjebak ke dalam pemikiran sesat dan pola hidup yang keliru. Keyakinan terhadap keberuntungan dengan arti kebetulan membuat seseorang keliru dalam menganalisa perilakunya dan sikap orang lain. Mereka ini lebih memilih berpegang pada hal-hal sepele ketimbang memikirkan sebab baik dan buruknya.
Selain itu, keterlibatan manusia tidak terbatas pada nasibnya sendiri, namun juga dapat mempengaruhi dunia dengan amal perbuatannya serta mengubah nasib orang lain. Manusia memiliki kemampuan untuk menghapus atau menetapkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, namun yang pasti hal ini dikarenakan Allah telah memberi keleluasaan kepada manusia. Misalnya terkait derasnya hujan atau berkurangnya nikmat Ilahi ini, atau bencana kekeringan, Allah Swt mengaitkannya dengan amal perbuatan manusia. Dalam surat al-A’raf ayat 96 Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Bagaimana pun juga manusia memainkan peran langsung dalam perubahan takdir dan nasibnya. Oleh karena itu, manusia yang celaka dan tak beruntung masih memiliki harapan untuk mengubah nasibnya. Sementara orang yang beruntung dan bahagia harus merasa khawatir bahwa suatu hari nasibnya akan berubah menjadi celaka. Oleh karena itu, sejumlah perbuatan seperti tawassul, doa dan sedekah dapat mengubah takdir seseorang. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa manusia dapat memperpanjang atau memperpendek usianya dengan menyambung atau memutus tali silaturahmi. Atau manusia mampu menambah rezeki atau menguranginya atau membuatnya penuh berkah atau tidak