PENGANTAR PENULIS
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
penulisan ini dalam rangka memenuhi tugas dalam menempuh pendidikan di Sekolah
Menengah Kejuruan Gunung Lembu Tremas Arjosari
Tetaken, sebuah ritual adat yang masih
lestari dan dipertahankan ditengah gempuran zaman oleh masyarakat desa Mantren
Kecamatan Kebonagung. Penelusuran kami dalam mencari referensi tentang Upacara
adat di kaki Gunung Lima ini secara tidak langsung mengungkap sebuah sejarah
awal mula peradaban di desa Mantren Kecamatan Kebonagung.
Semoga dengan adanya penulisan ini,
dapat menjadikan referensi pengetahuan budaya lokal di Kabupaten Pacitan bagi
pembaca semua pada umumnya dan bagi diri kami pada khususnya sebagai acuan
untuk melestarikan apa yang telah diwariskan oleh sejarah kehidupan kami.
A.
JUDUL
UPACARA ADAT TETAKEN
(Di Kabupaten Pacitan
Desa Mantren Kecamatan Kebonagung)
B.
DESKRIPSI
SINGKAT
Khasanah
budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan
landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam
tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari
budaya tradisi Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, upacara Kasada di Bromo,
dan Upacara Tetaken di Pacitan.
Prof.
S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata
dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat
kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap
sebagai modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan
devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan baik
di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan
di Indonesia yang tersebar di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke (Zulyani
Hidayah, 1999:ix).
Tradisi
budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan serius.
Sehingga dengan budaya lokal-lah kita mampu mewujudkan budaya tingkat Nasional.
Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak memperdulikan bahkan mereka
tidak mengetahui tradisi budaya yang ada didaerahnya. Hal itu membuat
keprihatinan tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat laun memusnahkan
pola pikir anak terhadap tradisi budaya yang ada. Generasi muda lebih suka play
station, game online dari pada melihat festival Gunung Limo.
Kita
tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau kita berpikir
secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita mampu
memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti halnya
mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan facebook. Sehingga
belum tentu perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya tradisi
daerah, melainkan kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk
menumbuhkembangkan budaya tradisi kedaerahan.
Tradisi
yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan sebagai media
pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai
tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk
upacara tradisi, seperti halnya; Tetaken, tradisi budaya yang terdapat di Desa Mantren,
Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh
masyarakat sekitar, dan juga pemerintah berperan serta didalam pelaksanaannya.
Selain
dijadikan media pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya yang ada di
daerah-daerah dapat dijadikan sebagai fokus objek wisata lokal. Menggali
(Ndudhuk) potensi upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu
kita mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta (2004:176), untuk membangun ketahanan
budaya, kita harus menggali dan kemudian memilah-milah produk-produk budaya
yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua produk budaya yang kita
miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk budaya yang harus kita
tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi
mampu menjawab kebutuhan zaman.
C. EXPRESI DAN PERFORMARANSI
1.
Sejarah diadakannya
Festival Gunung Limo (Upacara
Adat Tetaken)
Kota Pacitan terletak 524 Km sebelah timur dari Ibukota
Jakarta dan 209 arah barat daya dari kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Kabupaten yang terkenal dengan Gunung Limo ini mempunyai tradisi yang unik.
Karena menganut penanggalan Jawa, yaitu tepat pada 1 Syuro. Seperti daerah Jawa
lainnya, untuk memperingati bulan baru Hijriyah diadakan beberapa kegiatan.
Beberapa diantaranya adalah pengajian, melekan, tirakatan, perajahan, larung
sesaji dan napak tilas sejarah. Sedangkan di Gunung Limo bemerapa orang
melakukan teteki atau bertapa di bulan itu, selanjutnya para pertapa tersebut
disambut oleh masyarakat dalam bentuk perayaan “TETAKEN” yang diadakan setiap
tanggal 15 bulan Syuro.
Tetaken berasal dari kata “tetekian”,
“teteki” mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an, bermakna
tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan
maka kata “tetekian” berubah pengucapannya menjadi “tetaken” tanpa mengurangi
makna sesungguhnya. Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat kembali proses
datangnya Eyang Tunggul Wulung dan Mbah Brayut ke Gunung Limo dan menetap di
lereng Gunung Limo.
Digambarkan dalam ritual ini, sang
juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya.
Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah
masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari puncak gunung, iring-iringan
besar warga muncul menyambut para pertapa memasuki areal upacara. Masyarakat
mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan
pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai
Slamet, dan Kotang Ontokusumo/Jubah Hitam pertapa).
Eyang Tunggul Wulung adalah orang
pertama yang melakukan babat alas di lereng Gunung Limo kemudian menjadi Desa
Mantren. Beliau juga diyakini sebagai orang yang melakukan penyebaran agama
Islam di Tanah Jawa yang sebelumnya lebih banyak menganut agama Hindu dan
Budha. Kedatangannya di lereng Gunung Limo diiringi seorang asisten yang
bernama Mbah Brayut yang akhirnya menjadi cikal bakal dan menetap di Sidomulyo.
Sejarah Eyang Tunggul Wulung bermula
dari kedatangan prajurit “soreng” seiring Kasultanan Demak Bintoro yang berdiri
di abad 15. Seorang prajurit “soreng pati” sebutan prajurit kerajaan Demak
Bintoro (berasal dari kata sura ing pati yang berarti rela berkorban/mengabdi
sampai mati) berpangkat “Mantri Tamtama”, yang kemudian lazim disebut Eyang
Tunggul Wulung generasi pertama, bagi masyarakat Pacitan mungkin bukan sekedar
figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan masyarakat lereng
Gunung Limo yang meyakini bahwa Eyang Tunggul Wulung-lah penguasa pertama
Gunung Limo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Desa Mantren dan
sekitarnya. Sedangkan nama Desa Matren berasal dari kata “mantri” yang berati
penguasa yang memiliki kebijakan. Berdasar urutan pangkat dari atas: (1)
Raja/Sultan; (2) Adipati/Bupati; (3) Demang/Camat; (4) Mantri/Lurah; (5)
Punggawa/Pegawai kerajaan atau pangkat dalam kerajaan; (6) Tamtama/prajurit;
(7) Soreng Pati prajurit khusus berani mati. Hal ini menunjukkan bahwa Eyang
Tunggul Wulung adalah penguasa daerah tersebut.
Eyang Tunggul Wulung, tidak lain
adalah salah seorang prajurit yang mendapat perintah Raden Patah (Raja
Kasultanan Demak Bintoro) menjaga pusaka bendera panji hitam yang disebut panji
“Kyai Tunggul Wulung” untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung di tanah Jawa
sebagai tanda syiar Islam secara turun-temurun. Karena mendapat tugas untuk
menjaga panji Tunggul Wulung, soreng pati yang berpangkat mantri tamtama
tersebut diberi gelar Eyang Tunggul Wulung sesuai dengan nama pusaka yang
dijaganya. Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan Kyai Jayaniman pada masa
Diponegoro sebagai Bupati Pacitan yang bergelar “Kanjeng Jimat” setelah
mengabdikan diri sebagai juru pusaka di gedong Jimatan (1812-1826).
Ketenaran nama Tunggul Wulung sebagai
simbol syiar Islam tidak hanya di Gunung Limo. Di KadipatenWengker (sekarang
bernama Ponorogo) pada era Demak, Raden Katong (Betara Katong) yang bernama
asli Lembu Kanigoro putra raja Majapahit Brawijaya V dari ibu yang berasal dari
Bagelen, selaku adipati beliau memiliki pusaka tombak pengibar panji kejayaan
yang bernama “Tunggul Wulung”. Tombak Tunggul Wulung milik Betara Katong
tersebut sebagai pusaka simbol peradaban Islam di Ponorogo. Sampai saat ini
tombak Tunggul Wulung bersama dengan pusaka Payung Tunggul Naga dan ikat
pinggang Cinde Puspito masih rutin setiap tahun diarak dalam tradisi kirab
“Napak Tilas” pada 1 Syuro dari komplek makam Betara Katong menuju pusat kota.
Sejarah Tunggul Wulung ini berawal
dari senja kala Majapahit yang ditandai mulai redupnya pengaruh kekuasaan Raja
Brawijaya V, saat kakak tertuanya Raden Jaka Purba yang berganti nama sebagai
Raden Fatah, mendirikan Kasultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikuti
jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.
Di era Mataram di abad XVII yang
dipimpin oleh Sultan Agung panji hitam Tunggul Wulung digunakan sebagai simbol
kekuasaan Kasultanan Islam Mataram. Kyai (Pusaka) Tunggul Wulung diikatkan pada
sebatang Tombak Slamet dengan ukuran 4 X 2 meter. Sampai saai ini masih
tersimpan dalam gedong pusaka keraton Yogyakarta.
Sultan Agung Hanyokrokusumo raja
Mataram termasyur alias Raden Mas Rangsang alias Raden Jatmika (memerintah
1613-1646). Beliau raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya,
Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613.
Versi lain mengatakan naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun
menggantikan kakaknya Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram
selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan
ke-empat Kasultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga
karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan
janji ayahnya, Panembahan Hanyokrowati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean dan pendadaran prajurit Tunggul Wulung.
Disinilah pasokan senjata borongan prajurit seperti tumbak, keris, pedang,
perisai baja diproduksi. Saat penyerangan Batavia, Tuban, Surabaya, Madura,
Wirasaba, Malang sampai Banyuwangi, Begenen Pacitan memproduksi lebih dari 500
juta suku cadang senjata.
Selain senjata, di Pacitan terdapat
lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di Gunung
Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai “wisudan Tunggul
Wulung” (wisuda yang dilakukan oleh Tunggul Wulung). Prajurit Mataram melakukan
pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada pemuda-pemuda di desa-desa
dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila sewaktu-waktu ada
peperangan.
Pembekalan yang dilakukan oleh
prajurit Mataram dibawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja
kepada generasi muda, melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat.
Memantabkan ajaran Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman
prinsip-prinsip pengabdian kepada negara. Mendekatkan hubungan kerajaan dengan
masyarakat sekaligus mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah
kaprajuritan, kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai moral, spiritual
lahir dan bathin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari
menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan “TETAKEN”.
Senjakala Majapahit menguatkan tekad
Raden Patah menyatukan saudara-saudaranya yang merupakan keturunan langsung
dari ayahanda Brawijaya V di Wengker Kidul dibawah panji kebesaran Kasultanan
Demak yang bercorak Islam, ragam peristiwa terekam dalam ragam sejarah lisan,
cerita dan legenda masyarakat Pacitan. Kegemilangan peradaban Islam di Wengker
Kidul ditandai dengan berkibarnya Panji Hitam Tunggul Wulung di puncak Gunung
Limo. Berlanjut pada peristiwa pendadaran Prajurit Mataram di bawah Panji
Tunggul Wulung sebagai wujud nasionalisme, pertahanan dan perlawanan masyarakat
pada masa Sultan Agung, Gunung Limo telah menjadi simbol kebesaran masyarakat
Pacitan.
2.
Jalannya Upacara
Ritual Tetaken merupakan upacara
“bersih desa” yang kini dijadikan agenda tahunan wisata budaya di daerah ini.
Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama
para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya. Upacara berbentuk ritual ini
sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di lereng Gunung Limo, pada tanggal
15 Syuro terdapat tradisi ritual rutin tiap tahun yang disebut Tetaken.
Tetaken dikenal sejak dahulu sebagai
upacara adat yang digelar oleh masyarakat yang berada di lereng Gunung Limo
Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tetaken
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau maknanya adalah
pertaapaan. Tak heran, dalam pelaksanaan ritual ini, suasana religius yang
kental namun sederhana menandai ritual ini.
Dalam pelaksanaannya, tetaken adalah
acara pembuka rangkaian acara berikutnya, tak lama setelah rombongan turun,
iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan
pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul
Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa
berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di
baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu)
berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren).
Saat berada di tempat acara, secara
bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong
yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan. Kemudian setelah semua penunjang
ritual berada ditempat acara, acara inti pun segera dimulai. Sebagai tanda
kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu
diberi minum air dari sari aren tersebut.
Secara bergilir
para pembawa legen (air nira) menuang isi. Ini adalah sambutan dari masyarakat
Gunung Limo yang dalam kehidupan sehari-hari bekerja sebagai pencari nira.
Tradisi tetaken sendiri membawakan berkah bagi kehidupan sehari, menjadikan
simbol kekuatan dan spiritual, gunung limo merupakan sumber kekuatan dan nilai
spiritual.
Sebelum
ritual dilaksanakan, para jawara menampilkan kebolehannya dalam bermain silat
dan kanuragan. Sesepuh Mantren mengisyaratkan kepada para jawara untuk
memperebutkan sorban hitam Tunggul Wulung. Barang siapa berhasil mempertahankan
sorban itu melekat di kepalanya maka akan memperoleh pengakuan sebagai pendekar
Gunung Limo. Jawara ini adalah para pemuda tangguh yang maju sebagai wakil
dusun tempatan maupun tamu dari luar desa.
Selanjutnya, secara bergilir, para
warnet BMI tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta
kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut bermakna bahwa
tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian
dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi, dan pada akhirnya
kebaikan mampu mengalahkan kejahatan.
Pada akhir acara, semua warga
melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda.
Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa
mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena
hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan
masyarakatnya.
3.
Upacara Adat Tetaken di Masa Sekarang
Sejak
penyelenggaraan upacara adat
Tetaken pada tahun 2015
kegiatan ini dimasukan dalam salah satu agenda yang ikut menyemarakkan wisata budaya di Pacitan dengan konsep baru dan nuansa lebih segar,
kekinian, namun tetap memegang teguh nilai budaya Tetaken yang tersaji. Dengan demikian, ada sedikit perubahan dalam
upacara adat tetaken pasalnya, digelar
dalam rangkaian Festival Gunung Limo. Paguyuban
Tetaken Gunung Limo menggelar upacara adat Tetaken yang dirangkaikan dengan
Festival Gunung Limo di Pelataran Gunung Limo, Desa Mantren,
Kecamatan Kebonagung.
Beberapa program juga dirancang dalam menyemarakan dan
mempromosikan upacara adat Tetaken,
diantaranya adalah perjalanan pendakian puncak Gunung Limo, kajian Kasepuhan
dan wejangan pinisepuh Gunung Limo, bersih Gunung dan Ruwatan Nagari, festival
karya tulis, Sastra, fotografi dan multimedia dengan tema budaya Gunung Limo.
Juga ada lomba Mewarnai dan Lomba Lukis Tema
Gunung Limo (TK, SD, BMI, SMP, SMA), pencak Silat Sempok Gunung Limo dan Kompetisi
Perebutan Juara sorban tunggul wulung, Ritual TETAKEN (Pertapa Turun Gunung),
Pameran Pusaka BMI Net dan Produk Unggulan Khas Pacitan dan perajahan dan
Gemblengan kanuragan. Selain itu digelar pagelaran
Kontemporer Wayang Arya bersama Bagus Tegar serta pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk.
4.
Makna simbol verbal upacara adat Tetaken
a)
Tetaken
Istilah ini merupakan istilah kunci karena memang
istilah ini merupakan judul upacara Adat yang ada di Desa Mantren Kecamatan
Kebonagung Kabupaten Pacitan. Tetaken berarti membangun Pertapaan atau tempat
bersemedi atau teteki sesuai cerita bahwa Ki Tunggul Wulung membangun pertapaan
di Gunung Limo.
b)
Nguri-nguri
Istilah ini merupakan intisari upacara adat Tetaken
karena istilah ini bermakna menjaga dan melestarikan agar tetap ada disini yang
dimaksud melestarikan adalah menjaga dan melestarikan pertapaan atau Tetaken
Gunung Limo agar tetap menjadi aset yang berharga bagi bangsa dan Negara.
c)
Wejang
Istilah ini merupakan istilah yang ada di prosesi sebo
yang bermakna arahan dari sang juru kunci kepada calon murid mengenai syarat
syarat untuk menjadi seorang cantrik atau murid.
d)
Lelaku
Istilah ini merupakan rangkaian dari wejang, lelaku ini
bermakna jalan yang harus ditempuh yang sifatnya wajib yang berupa puasa 40
hari 40 malam. Semedi dan sebagainya yang bersifat wajib.
e)
Ngangsu Kaweruh
Setelah resmi diangkat menjadi seorang cantrik atau
murid maka seorang murid memasuki ngangsu kaweruh yang bermakna belajar ilmu
dari sang guru.
f)
Tirto Roso Dharmo
Setelah prosesi semedi maka sang murid minum air tirto
roso dharmo yang bermakna bahwa seorang murid akan selalu berbakti kepada
lingkungan atau masyarakat dan setelah minum tirto roso dharmo segala
kemungkaran akan dikurung.
g)
Netepi Dharmo
Istilah ini merupakan atau memiliki makna yang sangat
dalam bagi sang murid karena netepi dharmo bermakna bahwa ia akan selalu
mengamalkan apa yang telah diperolehnya untuk masyarakat
h)
Syukuran
Syukuran merupakan simbol verbal yang muncul setelah
proses doa dimana semua peserta makan sesaji bersama- sama syukuran bermakna
bahwa semua sedekah yang telah dikeluarkan oleh warga desa Mantren dengan
harapan upacara adat Tetaken tetap lestari
D.
PENUTUP
Dari penjabaran yang telah diuraikan, Upacara adat Tetaken merupakan tradisi masyarakat Pacitan khususnya masyarakat Desa Mantren Kecamatan Kebonagung yang
dilaksanakan tiap tahun pada bulan Muharram
atau bulan Suro. Acara ini dimaksudkan untuk mengenang sejarah Ki Tunggul Wulung yang telah membuka
lahan di kaki gunung lima dan sekarang dikenal dengan nama desa Mantren.
Upacara ini diyakini dapat menjauhkan
desa tersebut dari bala bencana dan memperlancar kegiatan pertanian. Lokasi upacara Tetaken yaitu di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan yang
jaraknya kurang lebih 40 km ke arah timur dari pusat kota. Upacara adat Tetaken ini juga menuntun kita untuk berusaha dalam
mencapai tujuan hidup dan mengatasi
segala rintangan yang menghadang. Rela berkorban demi niat yang baik. Saling tolong menolong sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Doa yang merupakan pengharapan pada
Sang Pencipta sangat berberan penting dalam pencapaian apa yang dicita-citakan.
Ingkung dan hasil bumi yang melambangkan hasil dari usaha yang dicapai mencontohkan pada
kita bahwa setiap usaha pasti ada hasilnya. Jika usaha yang kita lakukan sudah
maksimal, pasti hasilnya akan memuaskan.